Blogger Widgets Saya FARMASIS: Hipersensitivitas tipe 1

Senin, 06 Juli 2015

Hipersensitivitas tipe 1


Ada yang pernah menderita alergi? langsung saja alergi merupakan gejala hipersensitivitas. Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.
Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh (Karnen, 2006). Reaksi yang terjadi dibawa, baik melalui imunitas humoral (antibodi) maupun CMI (limfosit-T yang sensitif). Pada sebagian besar keadaan, reaksi hipersensitivitas disebabkan oleh antigen asing, seperti serbuk bunga, jamur, substansi makanan, dan obat-obatan (Underwood, 1999).
Jenis-jenis penyakit hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen. Penyakit hipersensitivitas dibagi menurut tipe respon imun dan mekanisme efektor yang menimbulkan kerusakan sel dan jaringan.
Reaksi hipersensitivitas menurut waktu (Karnen, 2006).
Dapat dibagi menurut waktu terjadinya reaksi, yaitu reaksi cepat, intermediet, dan lambat.
1.        Reaksi cepat
Terjadi dalam hitungan detik, serta hilang dalam waktu 2 jam. Antigen yang diikat IgE pada permukaan sel mast menginduksi pelepasan mediator vasoaktif. Manifestasinya dapat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal seperti pilek, bersin, asma, urtikaria, dan eksema.

2.         Reaksi intermediet
Terjadi setelah beberapa jam dan hilang dalam 24 jam. Reakis ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen. Reaksi intermediet diawali oleh IgG yang disertai kerusakan jaringan pejamu oleh sel netrofil atau sel NK. Manifestasinya berupa:
a)    Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun.
b)   Reaksi arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid, dan LES.

3.         Reaksi lambat
Terlihat sampai sekitar 48 jam setelah pajanan dengan antigen. Terjadi akibat aktivasi sel Th. Pada DTH yang berperan adalah sitokin yang dilepas sel T yang mengaktifkan makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan. Manifesstasi klinisnya yaitu dermatitis kontak, reaksi mikobakterium tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur.
Reaksi hipersensitivitas menurut mekanisme
Berdasarkan mekanisme reaksi imunologik yang terjadi, Gell dan Coombs membagi reaksi hipersensitivitas menjadi 4 golongan, yakni hipersensitivitas menjadi 4 golongan, yakni reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III, IV, kemudian akhir-akhir ini dikenal satu golongan lain yang disebut tipe V atau stimulatory hypersensitivity. Reaksi tipe I, II, III, dan IV terjadi karena interaksi antara antigen dengan reseptor yang terdapat pada permukaan limfosit sehingga termasuk reaksi seluler. Sesuai dengan waktu yang diperlukan untuk timbulnya reaksi, reaksi tipe I, II, III, dan IV disebut reaksi tipe segera (immediate), walau reaksi yang satu timbul lebih cepat dari yang lain, yaitu antara beberapa detik atau menit pada tipe I hingga beberapa jam pada tipe II dan III. Sebaliknya tipe IV disebut reaksi tipe lambat (delayed type hypersensitivity reaction) karena reaksi berlangsung lebih lambat dibandingkan tipe yang lain, yaitu umumnya lebih dari 12 jam. Walaupun demikian, dalam praktek, mekanisme reaksi hipersensitivitas tidak selalu berdiri sendiri atau terpisah satu dari yang lain, tetapi sering melibatkan lebih dari satu mekanisme reaksi imunologik (Baratawidjaja. 2010: 370).
A.      Hipersensitivitas Tipe 1
1.    Pengertian Hipersensitivitas Tipe 1
Reaksi tipe 1 yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaktik atau reaksi alergi, timbul segera sesudah terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe 1, alergen yang masuk kedalam tubuh menimbulkan respons imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi.  Contoh yang sering dari hipersensitivitas tipe I ialah demam, pilek, eksema pada masa kanak-kanak, dan asma ekstrinsik. Diagnosis hipersensitivitas tipe I biasanya dibuat dengan memperlihatkan adanya hubungan antara pemaparan antigen dalam lingkungan tertentu dan timbulnya gejala pada waktu anamnesis yang teliti (Underwood, 1999).
Urutan kejadian reaksi tipe 1 adalah sebagai berikut:
a)    Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fcε-R) yang terdapat pada permukaan sel mast dan basofil.
b)   Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast maupun basofil melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh karena ikatan silang antara antigen dengan IgE.
c)    Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang di lepas sel mast/basofil dengan aktivitas farmakologik
(Baratawidjaja. 2010: 371).
Pada tipe hipersensitivitas ini, antigen bereaksi dengan antibody yang terikat pada sel mast jaringan atau basofil dalam sirkulasi. Antibodi, biasanya IgE, melekat pada sel tersebut melalui fragmen Fc-nya. Kombinasi  antigen dengan antibodi terikat ini mengakibatkan aktivasi sel mast atau basofil dan pelepasan berbagai amin vasoaktif, seperti histamine. Pengaruh utama factor-faktor yang dilepaskan ini adalah vasodilatasi, kontraksi otot polos, dan peningkatan permeabilitas kapiler.
2.    Manifestasi Klinis Hipersensitivitas tipe I
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Sering kali hal ini ditentukan oleh rute pajanan antigen. Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, bisa lebah atau penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritema kulit, diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
            Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi). Bentuk umum alergi kulit, hay fever, serta bentuk tertentu asma merupakan contoh reaksi anafilaktik yang terlokalisasi. Kerentanan terhadap reaksi tipe 1 yang terlokalisasi sepertinya dikendalikan secara genetic dan istilah atopi digunakan untuk menunjukkan kecenderungan familial terhadap reaksi terlokalisasi semacam itu. Pasien yang menderita alergi nosobronkial sering kali mempunyai riwayat keluarga yang menderita kondisi serupa. Dasar genetic atopi belum dimengerti secara jelas, namun suatu studi menganggap adanya suatu hubungan dengan gen sitokin pada kromosom 5q yang mengatur pengeluaran IgE dalam sirkulasi (Kumar, Abbas. 2005).
3.    Mekanisme Reaksi Hipersensitivitas tipe I
Alergen dipresentasikan ke sel T CD4+ oleh sel dendritik (yang menangkap alergen dari tempat masuknya: selaput lendir hidung, paru, konjungtiva). Sel T kemudian berubah menjadi sel Th2. Sel T CD4+ ini berperan penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe I karena sitokin yang disekresikannya (khususnya IL-4 dan IL-5) menyebabkan diproduksinya IgE oleh sel B, yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan mengaktivasi eosinofil. Antibodi IgE berikatan pada reseptor Fc berafinitas tinggi (Fcε-R1) yang terdapat pada sel mast dan basofil; begitu sel mast dan basofil “dipersenjatai”, individu yang bersangkutan diperlengkapi untuk menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan yang ulang terhadap antigen yang sama mengakibatkan pertautan-silang antara antigen dengan IgE yang terikat sel dan memicu suatu kaskade sinyal intrasel sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator kuat. Mediator primer untuk respons awal sedangkan mediator sekunder untuk fase lambat (Kumar, Abbas. 2005). 

singkanya nih, Reaksi hipersensitivitas tipe 1 merupakan respon jaringan yang terjadi karena adanya ikatan silang antara alergen dan IgE. Reaksi ini dapat disebut juga sebagai reaksi cepat, reaksi alergi, atau reaksi anafilaksis. Mekanisme umum dari reaksi ini sebagai berikut :
        - Alergen berikatan silang dengan IgE
        - Sel mast dan basofil mengeluarkan amina vasoaktif dan mediator kimiawi lainnya
        - Timbul manifestasi
Manifestasi yang ditimbulkan dari reaksi ini berupa anafilaksis, urtikaria, asma bronkial atau dermatitis atopi





Mediator Primer
            Setelah pemicuan IgE, mediator primer di dalam granula sel mast dilepaskan untuk memulai tahapan awal reaksi hipersensitivitas tipe 1. Histamine merupakan komponen utama granul sel mast. histamine yang merupakan mediator primer yang dilepas akan diikat oleh reseptornya. Ada 4 reseptor histamine (H1,H2,H3,H4) dengan distribusi yang berbeda dalam jaringan dan bila berikatan dengan histamine akan menunjukkan berbagai efek, yaitu meningkatnya permeabilitas vaskular, vasodilatasi, bronkokontriksi, dan meningkatnya sekresi mukus. Mediator lain yang segera dilepaskan meliputi adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi dan menghambat agregasi trombosit) serta faktor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan dalam matriks granula dan meliputi heparin serta protease netral (misalnya, triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah komponen komplemen untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya, C3a) (Kumar, Abbas. 2005)
Mediator Sekunder
Mediator ini mencakup dua kelompok senyawa mediator lipid dan sitokin. Mediator lipid dihasilkan melalui aktivitas fosfolipase A2, yang memecah fosfolipid membrane sel mast untuk menghasilkan asam arakhidonat. Selanjutnya asam arakhidonat merupakan senyawa induk untuk menyintesis leukotrien dan prostaglandin.
a)        Leukotrien berasal dari hasil kerja 5-lipoksigenase pada prekusor asam arakhidonat dan sangat penting pada patognesis hipersensitivitas tipe 1. Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling poten, agen ini beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan dalam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit.
b)        Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi mukus.
c)        Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan agregasi trombosit, pelepasan histamin dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaktik untuk neutrofil dan eosinofil.meskipun produksinya diawali oleh aktivasi fosfolipase A2, mediator ini bukan produk metabolisme asam arakhidonat.
d)       Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan kemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai macam  sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B. IL-5 mengaktifkan eosinofil (Baratawidjaja.: 377, Kumar Abbas. 2005).

Secara ringkas, berbagai senyawa kemotaksis, vasoaktif, dan bronkospasme memerantai reaksi hipersensitivitas tipe 1. Beberapa senyawa ini dilepaskan secara cepat dari sel mast yang tersensitasi dan bertanggung jawab terhadap reaksi segera yang hebat yang berhubungan dengan kondisi seperti anafilaksis sistemik. Senyawa lain, seperti sitokin, bertanggung jawab terhadap reaksi fase lambat, termasuk rekrutmen sel radang. Sel radang yang direkrut secara sekunder tidak hanya melepaskan mediator tambahan, tetapi juga menyebabkan kerusakan epitel setempat. 
 
DAFTAR PUSTAKA
Akib, Arwin AP. 2008. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak. Jakarta: Balai Penerbit IDAI
Baratawidjaja KG. 2010. Imunologi dasar. Edisi 9. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar Edisi Tujuh. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Kumar, Abbas, Fausto. Robbins and Cotran. 2005. Pathologic basis of disease. 7th ed. China: Elsevier Saunders.

Underwood, J. C. E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
           

0 komentar:

Posting Komentar