Ada yang pernah menderita alergi? langsung saja alergi merupakan gejala hipersensitivitas. Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan
mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal
yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana
merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi
hipersensitivitas atau alergi.
Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologik, terjadi akibat
respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh (Karnen,
2006). Reaksi yang terjadi dibawa, baik melalui imunitas humoral (antibodi)
maupun CMI (limfosit-T yang sensitif). Pada sebagian besar keadaan, reaksi
hipersensitivitas disebabkan oleh antigen asing, seperti serbuk bunga, jamur,
substansi makanan, dan obat-obatan (Underwood, 1999).
Jenis-jenis penyakit hipersensitivitas
terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen. Penyakit hipersensitivitas
dibagi menurut tipe respon imun dan mekanisme efektor yang menimbulkan
kerusakan sel dan jaringan.
Reaksi hipersensitivitas menurut waktu (Karnen, 2006).
Dapat dibagi menurut waktu terjadinya
reaksi, yaitu reaksi cepat, intermediet, dan lambat.
1.
Reaksi cepat
Terjadi dalam
hitungan detik, serta hilang dalam waktu 2 jam. Antigen yang diikat IgE pada
permukaan sel mast menginduksi pelepasan mediator vasoaktif. Manifestasinya
dapat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal seperti pilek, bersin,
asma, urtikaria, dan eksema.
2.
Reaksi intermediet
Terjadi setelah
beberapa jam dan hilang dalam 24 jam. Reakis ini melibatkan pembentukan
kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen. Reaksi
intermediet diawali oleh IgG yang disertai kerusakan jaringan pejamu oleh sel
netrofil atau sel NK. Manifestasinya berupa:
a) Reaksi
transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik autoimun.
b) Reaksi arthus
lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness, vaskulitis nekrotis,
glomerulonefritis, artritis reumatoid, dan LES.
3.
Reaksi lambat
Terlihat sampai
sekitar 48 jam setelah pajanan dengan antigen. Terjadi akibat aktivasi sel Th.
Pada DTH yang berperan adalah sitokin yang dilepas sel T yang mengaktifkan
makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan. Manifesstasi klinisnya yaitu
dermatitis kontak, reaksi mikobakterium tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur.
Reaksi hipersensitivitas menurut mekanisme
Berdasarkan
mekanisme reaksi imunologik yang terjadi, Gell dan Coombs membagi reaksi
hipersensitivitas menjadi 4 golongan, yakni hipersensitivitas menjadi 4
golongan, yakni reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III, IV, kemudian
akhir-akhir ini dikenal satu golongan lain yang disebut tipe V atau stimulatory
hypersensitivity. Reaksi tipe I, II, III, dan IV terjadi karena interaksi
antara antigen dengan reseptor yang terdapat pada permukaan limfosit sehingga
termasuk reaksi seluler. Sesuai dengan waktu yang diperlukan untuk timbulnya
reaksi, reaksi tipe I, II, III, dan IV disebut reaksi tipe segera (immediate),
walau reaksi yang satu timbul lebih cepat dari yang lain, yaitu antara beberapa
detik atau menit pada tipe I hingga beberapa jam pada tipe II dan III.
Sebaliknya tipe IV disebut reaksi tipe lambat (delayed type hypersensitivity
reaction) karena reaksi berlangsung lebih lambat dibandingkan tipe yang
lain, yaitu umumnya lebih dari 12 jam. Walaupun demikian, dalam praktek,
mekanisme reaksi hipersensitivitas tidak selalu berdiri sendiri atau terpisah
satu dari yang lain, tetapi sering melibatkan lebih dari satu mekanisme reaksi
imunologik (Baratawidjaja. 2010: 370).
A.
Hipersensitivitas
Tipe 1
1.
Pengertian
Hipersensitivitas Tipe 1
Reaksi tipe 1
yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaktik atau reaksi alergi,
timbul segera sesudah terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe 1, alergen yang
masuk kedalam tubuh menimbulkan respons imun berupa produksi IgE dan penyakit
alergi seperti rhinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi. Contoh yang sering dari hipersensitivitas tipe I ialah
demam, pilek, eksema pada masa kanak-kanak, dan asma ekstrinsik. Diagnosis
hipersensitivitas tipe I biasanya dibuat dengan memperlihatkan adanya hubungan
antara pemaparan antigen dalam lingkungan tertentu dan timbulnya gejala pada
waktu anamnesis yang teliti (Underwood, 1999).
Urutan kejadian
reaksi tipe 1 adalah sebagai berikut:
a) Fase sensitasi
yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat silang oleh
reseptor spesifik (Fcε-R) yang terdapat pada permukaan sel mast dan basofil.
b) Fase aktivasi
yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik
dan sel mast maupun basofil melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh karena ikatan silang antara antigen
dengan IgE.
c) Fase efektor
yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang di lepas sel mast/basofil dengan aktivitas farmakologik
(Baratawidjaja. 2010: 371).
Pada tipe
hipersensitivitas ini, antigen bereaksi dengan antibody yang terikat pada sel
mast jaringan atau basofil dalam sirkulasi. Antibodi, biasanya IgE, melekat
pada sel tersebut melalui fragmen Fc-nya. Kombinasi antigen dengan antibodi terikat ini
mengakibatkan aktivasi sel mast atau basofil dan pelepasan berbagai amin
vasoaktif, seperti histamine. Pengaruh utama factor-faktor yang dilepaskan ini
adalah vasodilatasi, kontraksi otot polos, dan peningkatan permeabilitas
kapiler.
2. Manifestasi Klinis
Hipersensitivitas tipe I
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan
sistemik atau reaksi lokal. Sering kali hal ini ditentukan oleh rute pajanan
antigen. Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, bisa lebah atau
penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada
pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritema kulit, diikuti
oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan
diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan
dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua
saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan
diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik), dan penderita dapat
mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila
antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur pemajanannya, seperti
di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,
menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi). Bentuk
umum alergi kulit, hay fever, serta bentuk tertentu asma merupakan contoh
reaksi anafilaktik yang terlokalisasi. Kerentanan terhadap reaksi tipe 1 yang
terlokalisasi sepertinya dikendalikan secara genetic dan istilah atopi
digunakan untuk menunjukkan kecenderungan familial terhadap reaksi
terlokalisasi semacam itu. Pasien yang menderita alergi nosobronkial sering
kali mempunyai riwayat keluarga yang menderita kondisi serupa. Dasar genetic
atopi belum dimengerti secara jelas, namun suatu studi menganggap adanya suatu
hubungan dengan gen sitokin pada kromosom 5q yang mengatur pengeluaran IgE
dalam sirkulasi (Kumar, Abbas. 2005).
3.
Mekanisme
Reaksi Hipersensitivitas tipe I
Alergen dipresentasikan ke sel T CD4+ oleh sel dendritik (yang menangkap
alergen dari tempat masuknya: selaput lendir hidung, paru, konjungtiva). Sel T
kemudian berubah menjadi sel Th2. Sel T CD4+ ini berperan penting dalam patogenesis
hipersensitivitas tipe I karena sitokin yang disekresikannya (khususnya IL-4
dan IL-5) menyebabkan diproduksinya IgE oleh sel B, yang bertindak sebagai
faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan mengaktivasi eosinofil. Antibodi IgE berikatan pada reseptor Fc berafinitas
tinggi (Fcε-R1) yang terdapat pada sel mast dan basofil; begitu sel
mast dan basofil “dipersenjatai”, individu yang bersangkutan diperlengkapi
untuk menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan yang ulang terhadap antigen
yang sama mengakibatkan pertautan-silang antara antigen dengan IgE yang terikat
sel dan memicu suatu kaskade sinyal intrasel sehingga terjadi pelepasan
beberapa mediator kuat. Mediator primer untuk respons awal sedangkan mediator
sekunder untuk fase lambat (Kumar,
Abbas. 2005). singkanya nih, Reaksi hipersensitivitas tipe 1 merupakan respon jaringan yang terjadi karena adanya ikatan silang antara alergen dan IgE. Reaksi ini dapat disebut juga sebagai reaksi cepat, reaksi alergi, atau reaksi anafilaksis. Mekanisme umum dari reaksi ini sebagai berikut :
- Alergen berikatan silang dengan IgE
- Sel mast dan basofil mengeluarkan amina vasoaktif dan mediator kimiawi lainnya
- Timbul manifestasi
Manifestasi yang ditimbulkan dari reaksi ini berupa anafilaksis, urtikaria, asma bronkial atau dermatitis atopi.
Mediator
Primer
Setelah
pemicuan IgE, mediator primer di dalam granula sel mast dilepaskan untuk
memulai tahapan awal reaksi hipersensitivitas tipe 1. Histamine merupakan
komponen utama granul sel mast. histamine yang merupakan mediator primer yang
dilepas akan diikat oleh reseptornya. Ada 4 reseptor histamine (H1,H2,H3,H4)
dengan distribusi yang berbeda dalam jaringan dan bila berikatan dengan
histamine akan menunjukkan berbagai efek, yaitu meningkatnya permeabilitas
vaskular, vasodilatasi, bronkokontriksi, dan meningkatnya sekresi mukus.
Mediator lain yang segera dilepaskan meliputi adenosin (menyebabkan
bronkokonstriksi dan menghambat agregasi trombosit) serta faktor kemotaksis
untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan dalam matriks granula dan
meliputi heparin serta protease netral (misalnya, triptase). Protease
menghasilkan kinin dan memecah komponen komplemen untuk menghasilkan faktor
kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya, C3a) (Kumar, Abbas. 2005)
Mediator Sekunder
Mediator ini mencakup dua kelompok senyawa mediator
lipid dan sitokin. Mediator lipid dihasilkan melalui aktivitas fosfolipase A2,
yang memecah fosfolipid membrane sel mast untuk menghasilkan asam arakhidonat.
Selanjutnya asam arakhidonat merupakan senyawa induk untuk menyintesis
leukotrien dan prostaglandin.
a)
Leukotrien berasal dari hasil kerja
5-lipoksigenase pada prekusor asam arakhidonat dan sangat penting pada patognesis
hipersensitivitas tipe 1. Leukotrien C4 dan D4 merupakan
agen vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling poten, agen ini beberapa
ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam meningkatkan permeabilitas
vaskular dan dalam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4
sangat kemotaktik untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit.
b)
Prostaglandin D2 adalah
mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi dalam sel
mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi
mukus.
c)
Faktor pengaktivasi trombosit merupakan
mediator sekunder lain, mengakibatkan agregasi trombosit, pelepasan histamin
dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaktik untuk neutrofil dan
eosinofil.meskipun produksinya diawali oleh aktivasi fosfolipase A2, mediator
ini bukan produk metabolisme asam arakhidonat.
d) Sitokin
yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan kemokin
berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya
merekrut dan mengaktivasi berbagai macam
sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi,
emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor pertumbuhan sel
mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B. IL-5
mengaktifkan eosinofil (Baratawidjaja.: 377, Kumar Abbas. 2005).
Secara ringkas, berbagai senyawa kemotaksis,
vasoaktif, dan bronkospasme memerantai reaksi hipersensitivitas tipe 1.
Beberapa senyawa ini dilepaskan secara cepat dari sel mast yang tersensitasi
dan bertanggung jawab terhadap reaksi segera yang hebat yang berhubungan dengan
kondisi seperti anafilaksis sistemik. Senyawa lain, seperti sitokin,
bertanggung jawab terhadap reaksi fase lambat, termasuk rekrutmen sel radang.
Sel radang yang direkrut secara sekunder tidak hanya melepaskan mediator tambahan,
tetapi juga menyebabkan kerusakan epitel setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Akib, Arwin AP. 2008. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak.
Jakarta: Balai Penerbit IDAI
Baratawidjaja KG. 2010. Imunologi dasar. Edisi 9. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar Edisi Tujuh.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Kumar, Abbas, Fausto. Robbins and Cotran. 2005. Pathologic basis of disease. 7th
ed. China: Elsevier Saunders.
Underwood, J. C. E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
0 komentar:
Posting Komentar